Perlukah Meluruskan Arah Kiblat? Sebuah pertanyaan
yang mengemuka ketika kita dihadapakan pada kenyataan bahwa menurut penelitian
dan pengamatan arah masjid atau mushalla umat Islam di Indonesia belum
seluruhnya menghadap tepat ke arah Masjidil Haram yang merupakan kiblat kita
sewaktu shalat. Sedangkan menghadap kiblat adalah salah satu dari syarat sahnya
shalat.
Antara masjid yang satu dengan yang lain ada perbedaan-perbedaan
arah kiblatnya, misalnya saja Masjid Menara Kudus memiliki sumbu bangunan 25
derajat kearah utara, Masjid Kotagede Jogjakarta sumbu bangunannya 19 derajat, Masjid
Agung Jepara 15 derajat, Masjid Tembayat Klaten 26 derajat, Masjid Agung
Surakarta bergeser 10 derajat dan Masjid Agung Baitunnur Blora sebesar 8
derajat. Lalu bagaimana dengan masjid kita?
Data-data tersebut membuktikan dan menyimpulkan bahwa selama ini arah
kiblat masjid yang banyak tersebar di tengah masyarakat satu sama yang lain
masih ada perbedaan-perbedaan. Bahkan perbedaan mencapai lebih dari 20 derajat, adalah tidak keliru dan
tidak berlebihan.
Melihat fenomena demikian, kiranya perlu kita
meluruskan kiblat masjid kita. Hal ini dilakukan agar dapat memberikan keyakinan dalam beribadah secara ainul
yaqin atau paling tidak mendekati atau bahkan sampai baqqul yaqin,
bahwa kita benar-benar menghadap kiblat (Ka’bah). Karena perbedaan per derajat
saja sudah memberikan perbedaan ke-mlenceng-an arah seratusan kilometer.
Bagaimana kalau perbedaan puluhan derajat, bias-bisa arah kiblatnya melenceng
diluar jauh Masjidil Haram, tidak hanya luar jauh dari Baitullah (Ka’bah).
Menghadap kiblat adalah
satu keharusan (syarat) dalam salat. Salat dinyatakan tidak sah jika tidak
menghadap Kakbah, karena menghadapnya adalah kemestian untuk sah dan
berkualitasnya salat seorang muslim. Allah berfirman :“wa min haytsu kharajta fa
walli wajhaka syathral masjidil haram wa haytsu ma kuntum fa wallu wujuhakum
syathrah”- “ Dan dari mana
saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram. Dan dari mana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu kearahnya” [QS. Al-Baqarah
(02): 150].
Hanya saja sekarang timbul pertanyaan, apakah
harus persis menghadap ke Baitullah atau boleh hanya ke arah taksirannya saja. Dalam
hal ini perlu kita memahami bahwa agama Islam bukanlah agama yang sulit dan memberatkan, sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Baqarah (2)
ayat 286 : “
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya “
Apalagi
dalam soal kiblat ini kita di perintahkan menghadap kiblat dengan lafaz shathrah yang berarti
arah. Oleh karena itu, sudah barang tentu bagi yang langsung dapat melihat
Ka’bah baginya wajib berusaha agar dapat menghadap persis ke Ka’bah. Sedangkan
orang yang tidak langsung dapat melihat Ka’bah karena terhalang atau jauh,
baginya hanya wajib menghadap ke arahnya saja dengan pertimbangan yang terdekat
arahnya. Sehingga bagi kita biasa melafalkan
niat “mustaqbilal qiblah”
dalam niat mengawali untuk shalat.
Untuk mendapatkan keyakinan dan kemantapan amal
ibadah kita dengan ainul yaqin atau paling tidak mendekatinya atau bahkan
sampai pada haqqul yaqin, kita perlu berusaha agar arah kiblat yang kita
pergunakan mendekati persis kepada arah yang persis menghadap ke Baitullah. Jika
arah tersebut telah kita temukan berdasarkan hasil ilmu pengetahuan misalnya,
maka kita wajib mempergunakan arah tersebut selama belum memperoleh hasil yang
lebih teliti lagi. Hal ini relevan
dengan firman Allah surat az-Zumar 17-18 ”… sebab
itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-HambaKu, yang mendengarkan
perkataan-perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka
itulah orang-orang yang telah di beri petunjuk oleh Allah dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal.
Sehingga sudah barang tentu kita perlu mencari
kesimpulan arah mana yang paling mendekati kebenaran pada arah kiblat
sebenarnya. Dengan demikian, menyikapi banyaknya terjadi perbedaan dalam
besaran-besaran sudut penunjuk arah kiblatyang terjadi di masyarakat selama ini,
perlu adanya pengecekan kembali dengan melakukan pengukuran kembali arah
kiblat. Mestinya banyak system penentuan arah kiblat yang dapat dikategorikan
akurat, seperti dengan menentukan azimuth kiblat dengan scientific calculator
atau dengan di bantu alat tekhnologi canggih semacam theodolite dan GPS (Global
Position System) atau dengan cara tradisional yakni melihat bayang-bayang
matahari pada waktu tertentu (rashdul
kiblat) setelah mengetahui data lintang dan bujur tempat serta mengetahui
lintang dan bujur Ka’bah.
Bagaimana dengan kompas? Kompas yang selama ini
beredar di masyarakat kiranya memang dapat di gunakan untuk menentukan arah
kiblat namun masih sebatas ancar-ancar
yang masih perlu di cek kebenarannya. Karena
berbagai model kompas termasuk kompas kiblat masih mempunyai kesalahan yang
bervariasi sesuai dengan kondisi tempat (Magnatic Variation). Apalagi
pada daerah yang banyak baja atau besinya, akan mengganggu penunjukkan
utara-selatan magnet.
Secara garis besar arah kiblat berdasarkan
perhitungan astronomi untuk daerah jawa Tengah sekitar 24 derajat 10 menit
sampai 25 derajat dari titik barat sejati ke arah utara sejati. Sehingga dapat
dicek dengan sudut busur tersebut setelah mengetahui arah utara-selatan sejati.
Salah satu cara tradisional yang dapat menghasilkan hasil akurat adalah dengan
bayang-bayang matahari sebelum dan sesudah kulminasi matahari dalam sebuah
lingkaran. Atau dengan cara yang sangat sederhana yakni rashdul kiblat yakni hari-hari
tertentu setiap tahun ketika matahari berada tepat di atas ka’bah sehingga
semua benda tegak lurus adalah mengarah ke kiblat. Meskipun pada dasarnya
rashdul kiblat dapat di hitung setiap hari dengan mengetahui deklinasi matahari.
Oleh karena itu , untuk mendapatkan keyakinan dan
kemantapan amal ibadah kita khususnya shalat dengan ainul yaqin atau paling
tidak mendekatinya atau bahkan sampai dengan haqqul yaqin, marilah kita
berusaha meluruskan arah kiblat masjid dan mushala kita, agar ibadah shalat
kita mendekati persis kepada arah menghadap ke Baitullah. Sehingga ketika kita shalat, kita yakin benar
telah mustaqbilal kiblat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar