Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
pasal 2 menyatakan, “pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata
berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat”.. Sementara pasal 3 menegaskan bahwa tujuan
pengaturan, pembinaan dan pengawasan pangan adalah :
- tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia;
- terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab, dan
- terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Ketentuan di atas, diperkuat lagi dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang tujuannya
adalah :
- meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
- mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
- meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
- menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
- menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
- meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa antara pangan dan konsumen terdapat hubungan
yang saling terkait. Pangan perlu jelas status kehalalannya, sehingga
bermanfaat bagi konsumen, dan konsumen dilindungi hak-haknya, sehingga siapapun
yang memproduksi barang atau jasa, dapat memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan oleh agama dan peraturan perundang-undangan.
Apabila diteliti lebih lanjut, keberadaan
peraturan perundang-undangan di atas, juga merupakan penjabaran dari rambu-rambu
agama, baik yang berkaitan dengan soal makanan maupun barang-barang produksi
lainnya yang digunakan manusia, yang dalam bahasa agama disebut dengan
ketentuan halal, baik barangnya, proses maupun pengolahannya.
Apalagi akhir-akhir ini kita dapat menyaksikan
betapa membanjirnya produk-produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika dan
produk lain ke pasar lokal, nasional maupun internasional yang belum berlabel
halal. Hal ini akan sangat berbahaya bagi konsumen khususnya yang beragama
Islam yakni berdampak buruk secara syar’i maupun kesehatan. Padahal setiap
konsumen berhak memperoleh perlindungan dan kepastian hukum tentang kehalalan
produk-produk tersebut dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Negara-negara produsen yang berpenduduk muslim
dengan jumlah minoritas saja telah menerapkan sistem produksi halal untuk
memenuhi pangsa pasar ekspornya. Selain motif ekonomi, ini juga menunjukan
betapa pentingnya kehalalan suatu produk. Dengan demikian negara-negara ASEAN
terutama Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia melalui
Kementerian Agama bersama-sama MUI tengah berusaha memacu diri agar jangan
sampai tertinggal dalam mengembangkan manajemen dan sistem produk halal, bahkan
diharapkan menjadi pelopor terdepan dalam mengembangkannya. Melalui sertifikat
halal yang dikeluarkan MUI diharapkan para produsen dapat memberikan kepastian
soal legalitas kehalalan tentang produknya sebelum dipasarkan agar dapat bersaing
dengan produk lain, dan lebih jauh akan memberikan perlindungan kepada
konsumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar