Setiap kali ada perhelatan
acara pernikahan kita yang datang untuk menghadiri acara tersebut dimintai do’a
dan restu bagi kedua mempelai agar kelak setelah menikah dapat membangun sebuah
keluarga yang sakinah, bahagia dunia dan akhirat. Lalu apa yang dimaksud
keluarga sakinah? Dan bagaimana pula menciptakannya?
Sebelum membahas lebih
lanjut, kita perhatikan dulu apa yang dimaksud dengan keluarga sakinah. Kata “sakinah”
terambil dari akar kata yang terdiri atas huruf arab yaitu sin, kaf, dan
nun, yang mengandung makna “ketenangan”
atau “anonim dari guncang dan gerak”. Berbagai bentuk kata yang terdiri
atas ketiga huruf tersebut, semuanya bermuara
pada makna di atas.
Dalam bahasa Arab, rumah dinamai “maskan” karena ia merupakan tempat untuk meraih ketenangan setelah sebelumnya sang penghuni bergerak (beraktivitas diluar). Sedangkan salah satu tujuan orang berumah tangga adalah untuk mendapatkan sakinah atau ketenangan dan ketentraman tersebut. Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt. Berfirman,
Dalam bahasa Arab, rumah dinamai “maskan” karena ia merupakan tempat untuk meraih ketenangan setelah sebelumnya sang penghuni bergerak (beraktivitas diluar). Sedangkan salah satu tujuan orang berumah tangga adalah untuk mendapatkan sakinah atau ketenangan dan ketentraman tersebut. Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt. Berfirman,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasihg sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS.
Ar-Rum [30]:21)
Telah menjaadi sunnatullah
bahwa setiap orang yang memasuki pintu gerbang pernikahan akan memimpikan sebuah
keluarga sakinah yang merupakan pilar pembentukan masyarakat ideal yang
dapat melahirkan keturunan yang shalih
dan shalihah. Di dalamnya, kita akan menemukan kehangatan kasih
sayang, ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan yang akan dirasakan oleh seluruh
anggota keluarga.
Konsep ideal inilah yang
telah dijelaskan di atas, sepintas memang sulit untuk di wujudkan, tetapi insya
Allah seiring dengan berjalannya proses belajar bagi suami, istri dan seluruh
anggota keluarga, rumah tangga seperti ini akan bisa terwujud.
Dapat dikatakan bahwa
keluarga sakinah akan tercapai ketika terpenuhinya kebutuhan rumah
tangga lahir dan batin. Bangunan rumah tangga yang sakinah adalah
bangunan rumah tangga yang terpenuhi secara lahiriah dan ma’nawiah.
Dan ini, dapat terlihat dari ciri-ciri yang terdapat dalam keluarga tadi.
Ibarat orang yang hendak membangun rumah idaman, banyak sekali hal-hal yang
perlu dipertimbangkan, dari tanah yang akan didiaminya, cuaca lingkungan yang
baik, yang kemudian di dukung oleh peralatan material rumah yang baik, gaya
arsitektur yang baik, dan anggota rumah tangga yang baik pula.
Berikut ini, ada beberapa ciri
rumah tangga sakinah yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk menilai sejauh mana
tingkat kesakinahan keluarga kita, berdasarkan keseharian dalam rumah tangga
yang sudah berjalan sekian lama atau sebagai pelajaran bagi mereka yang akan merencanakan
pernikahan :
Pertama, bangunan ma’nawiah. Ini
adalah ruh dari sebuah rumah tangga , yaitu perangkat rumah tangga dari segi
isinya. Isi disini dimaksudkan sebagai niat dan cita-cita dari masing-masing
anggota keluarga untuk menciptakan keluarga yang sakinah. Adakah niat itu? Apa tujuan
kita berumah tangga? Sekedar memenuhi kebutuhan jasmaniah semata atau ada yang
lain? Ini perlu dipikirkan dan ditata ulang jika perlu agar keluarga yang kita
bangun susah payah tidak berakhir dengan sia-sia tanpa makna.
Kedua, berkeluarga yang dibina
atas asas agama. Maksudnya adalah dalam mendirikan rumah tangga bukan hanya
asal-asalan, akan tetapi dimulai dengan niat suci yang kuat bahwa membina rumah
tangga itu karena niat ibadah dengan mengharapkan keridlaan Allah. Proses ini,
bisa dimulai dari sebelum pernikahan
berlangsung, bahkan sejak kedua belah pihak memilih pasangan. Proses yang
berlangsung mulai dari memilih pasangan, meminang sampai dengan pernikahan,
sebaiknya tidak dikotori oleh maksiat kepada Allah Swt. Hal ini, sangat
berpengaruh dalam membangun rumah tangga yang diliputi dalam suasana ibadah. Dengan
berpijak pada niat yang baik tadi, insya Allah permasalahan apapun akan
mudah diselesaikan, karena keduanya tunduk pada aturan Allah Swt.
Ketiga, anggota keluarga menerapkan
akhlak al-karimah. Peran ayah dan ibu, sangat penting untuk menurunkan
nilai-nilai Islam ini kepada anak-anak. Oleh karena itu, selain ayah dan ibu
harus terus menerus belajar menyerap nilai-nilai Islam ini ke dalam sikap dan
tingkah lakunya, menjadi kewajiban mereka juga untuk mengajarkan hal ini kepada
seluruh anggota keluarga yang lainnya,
bahkan termasuk kepada pembantu rumah tangga. Ayah menjadi direktur yang
menerapkan kebijakan-kebijakan Islami dalam rumah tangga, sedangkan ibu sebagai
manajer yang mencari cara agar kebijakan
tersebut bisa diterapkan di rumah tangganya.
Setiap anggota keluarga
memiliki kewajiban untuk membiasakan
diri saling tolong menolong dalam memberi nasihat dengan cara yang baik kepada
anggota keluarga lain ketika melakukan kesalahan. Misalnya mengingatkan untuk
shalat atau berdoa sebelum memulai suatu
pekerjaan. Juga adab mengucapkan terima kasih atas pertolongan setiap anggota
keluarga, baik kepada yang masih kecil maupun yang sudah besar. Dan akan
menjadi sebuah penderitaan tersendiri bagi seorang anak yang tidak mendapatkan
penjagaan, dan pengayoman dari orang tua dalam bentuk tidak pernah memberikan pelajaran
agama dan lebih sibuk dengan urusan mencari nafkah dan kehidupan dunia.
Keempat, adanya keteladanan (qudwah).
Hal ini perlu dilakukan oleh pemimpin dalam rumah tangga. Hal ini sangat
penting khususnya bagi anak-anak, karena mereka memerlukan contoh yang nyata
dalam menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah
salah satu kewajiban orang tua yang akan dimintakan pertanggungjawaban di
akhirat kelak.
Selanjutnya, berusaha
membudayakan kasih sayang diantara
anggota keluarga : yang tua mengasihi yang muda dan yang muda menghormati yang
lebih tua. Karena tanpa adanya keteladanan, yang terjadi adalah kontradiktif,
misalnya orang tua menyuruh agar anaknya menepati janji tapi dia sendiri sering
mengingkari janji, menyuruh jujur padahal orang tuanya sendiri sering dusta.
Realitas seperti ini, akan berakibat buruk pada kepribadian anak.
Kelima, membudayakan musyawarah dan
keterbukaan pendapat. Istri menghormati suami sebagai pemimpin dalam mengambil
keputusan. Menyelesaikan problem dengan jalan musyawarah yang mengikutsertakan
anggota keluarga bahkan termasuk anak-anak sangat diperlukan agar setiap
keputusan yang diambil dapat diterima dan dipertanggungjawabkan. Suami menyayangi dan
menghargai si istri dengan cara mengajaknya bermusyawarah atas segala
keputusan. Sang adik diajarkan untuk menghormati kakak, sang kakak diajarkan
untuk menyayangi adik. Sekalipun kepada pembantu, anak-anak diajarkan untuk
menghormati mereka dan menghargai jasanya dalam membantu mengurus rumah tangga.
Sehingga dalam keluarga tersebut tercipta perasaan persamaan derajat dan saling
menghormati antara yang satu dengan yang lain.
Jika kelima syarat tersebut
dapat diterapkan di masing-masing keluarga yang ada dalam masyarakat, Insya
Allah konsep keluarga sakinah bukan hanya sekedar angan-angan tetapi dapat kita
wujudkan, sehingga pada akhirnya mendapatkan keluarga bahagia dunia dan akhirat
dalam keridlaan Allah Swt. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar